Dia adalah seorang anak susah yang terlahir dalam keluarga miskin, ayahnya wafat pada saat usianya tiga tahun, ibunya mencari nafkah dengan mencuci pakaian orang. Maka dia sadar kalau dirinya harus bekerja keras.
Pada usia
18 tahun, dia berhasil masuk perguruan tinggi dengan nilai yang tinggi. Demi
mencukupi biaya sekolahnya, ibunya pernah menjual darah, namun dia berpura-pura
tidak tahu, sebab takut melukai hati ibunya.
Dia
sendiri pernah menjual darah secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui ibunya,
mengangkut batu sampai tangannya berdarah, juga menjual koran, demi sedikit
meringankan beban ibunya.
Pada masa
liburan musim dingin tahun kedua, dia pulang ke rumah dan melihat ibunya sedang
mencuci pakaian orang dalam cuaca sangat dingin, kedua tangan ibunya sampai
pecah-pecah karena kedinginan. Ibunya berkata: “Pekerjaan lain sulit ditemukan,
jadi hanya bisa mencuci pakaian, sehelai pakaian upahnya satu dolar, semua ini
adalah pakaian orang kaya, mereka takut pakaiannya rusak kalau mempergunakan
mesin cuci.”
Hari itu,
ibunya menerima upah kerjanya dan berkata dengan gembira: “Anakku, ibu
mendapatkan upah 200 dolar.”
Sambil
berkata ibunya merogoh kocek, siapa tahu di dalam koceknya hanya tersisa
selembar uang kertas pecahan 100 dolar saja.
Seketika
ibunya menjadi panik: “Ibu kehilangan 100 dolar.”
Tanpa
berkata banyak, ibunya dengan tergesa-gesa ke luar rumah. Di luar rumah sungguh
gelap, angin juga kencang dan turun salju, ibu menelusuri jalan pulang tadi
untuk mencari uangnya. Dapat dilihat kalau 100 dolar itu adalah sangat penting
baginya.
Itu
adalah biaya hidup ibunya selama sebulan, itu adalah uang makannya selama
sebulan.
Ibunya
sudah ke luar rumah, dia juga mengikuti ibunya ke luar rumah. Di luar sangat
gelap, ibunya mempergunakan lampu senter untuk mencari uangnya. Tanpa terasa
air matanya mengalir turun.
Benar!
Itu adalah upah ibunya mencuci 100 helai pakaian. Dia mencari di halaman rumah,
juga mencari di jalan, tetapi tetap saja tidak ditemukan. Jika pun ada, mungkin
sudah pun dari tadi dipungut orang lain.
Ibunya
bolak balik tiga kali untuk mencari uangnya. Dia berkata kepada ibunya dengan
hati pilu: “Ibu, tidak usah cari lagi, nanti sesudah hari terang baru kita cari
lagi.”
Namun
ibunya tetap bersikeras ingin mencari, cahaya dari lampu senter di kegelapan
malam seakan menikam lubuk hatinya dan membuat rasa sakit tiada terhingga.
Dia lalu
mengambil 100 dolar dari uang biaya hidup yang diberikan ibunya dan
meletakkannya di halaman rumah. Dia beranggapan kalau ini adalah jalan terbaik
untuk membebaskan ibunya dari kegalauan.
Ternyata
dia mendengar ibunya berkata dengan senang: “Anakku, uang sudah ditemukan.”
Dia
berlari ke luar dan ikut bergembira bersama ibunya. Dengan gembira ibu dan anak
kembali ke dalam rumah. Ibunya berkata: “Anggap saja tidak ditemukan. Mari, ini
untukmu! Kamu harus makan yang lebih baik, lihat! Kamu terlalu kurus.”
Beberapa
tahun kemudian, dia tamat kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Dia lalu
menjemput ibunya untuk tinggal bersama di kota, sejak itu ibunya tidak perlu
lagi mencuci pakaian orang.
Uang
kertas pecahan seratus dolar itu, dia tidak pernah merasa rela untuk
mempergunakan dan terus disimpannya. Itu adalah uang kertas pecahan seratus
dolar yang dicari ibunya semalaman, melambangkan kehangatan dan perasaan penuh
kemantapan.
Setelah
beberapa tahun kemudian, dia mengungkit hal ini dalam suatu kesempatan, sambil
tersenyum berkata kepada ibunya: “Ibu, saya yang menaruh uang kertas pecahan
seratus dolar itu di sana.” Namun yang mengejutkannya adalah jawaban ibunya:
“Ibu tahu”.
Dengan
heran dia bertanya: “Bagaimana ibu bisa tahu?” Ibunya menjawab: “Uang yang ibu
dapatkan selalu diberi tanda, ada tulisan 1, 2, 3 di atasnya, sedangkan uang
kertas itu tidak ada tanda, apalagi ditemukan di halaman rumah. Ibu tahu kalau
itu adalah uang yang kamu taruh karena takut ibu galau. Dalam hati ibu
berpikir, karena anak ibu demikian sayang pada ibu, maka ibu tidak boleh
mencari lagi, jikalau sudah hilang dan tidak akan ditemukan lagi, kenapa tidak
membuat anak ibu tenang hati saja?”
Dia lalu
maju memeluk ibunya dengan mata berkaca-kaca.
Sungguh
ibu dan anak yang bertautan hati, mereka selalu meninggalkan cinta kasih
terhangat kepada pihak lain. Benar sekali, walau pun miskin, namun dengan
adanya cinta kasih, maka mereka merupakan orang paling kaya di dunia ini.
Pencarian
sehelai uang kertas pecahan seratus dolar ini melambangkan dalamnya kasih
sayang antara ibu dan anak.
******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar