Suatu ketika seorang bocah yang baru duduk di kelas 3 sekolah dasar mendapat motivasi dari gurunya untuk melaksanakan shalat subuh berjama’ah. Baginya hal tersebut adalah hal yang sulit karena keluargaya tidak biasa shalat subuh berjama’ah, namun anak ini mempunyai tekad yang kuat untuk bisa berjama’ah subuh di masjid.
Anak tersebut tidak biasa bangun di pagi buta saat fajar, karena takut kesiangan ia tidak meminta ayahnya untuk membangunkan atau memasang alarm, namun ia memilih untuk tidak tidur di malam hari dan menunggu hingga adzan subuh berkumandang.
Begitu adzan subuh berkumandang ia segera keluar menuju masjid. Ada satu masalah muncul ketika itu, suasana di luar rumahnya yang gelap dan sunyi membuat nyalinya menciut. Ia tidak berani pergi ke masjid sendiri. Pada saat itu juga ia mendengar langkah kaki yang berat, alih-alih setelah diamati, ternyata ada seorang kakek berjalan dengan tongkatnya. Anak tadi yakin bahwa sang kakek akan pergi ke masjid dan mengikuti dari belakang tanpa sepengetahuan sang kakek.
Prediksinya benar, Allah benar-benar membukakan jalan bagi hambanya yangmemiliki tekad. Ia pun menjadikan hal tersebut sebagai rutinitasnya, begadang sepanjang malam hingga adzan subuh menggema, lalu berjalan menuju masjid di belakang sang kakek, shalat subuh berjama’ah dan kembali ke rumah dengan cara yang serupa saat dia berangkat.
Keluarganya tidak ada yang mengetahuinya, mereka hanya tahu bahwa bocah tersebut menjadi jarang bermain dan lebih banyak tidur sepulang sekolah. Kemudian taqdir Allah terjadi. Ia mendengar kabar bahwa kakek tersebut meninggal dunia, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kita akan kembali.
Bocah itu menangis sesenggukan, ia begitu sedih. Sang pemandu jalan telah meninggal. Ia mencintainya karena dengannya ia bisa menghadiri sholat subuh berjama’ah, dengannya ia bisa bertaqwa kepada Allah.
Ayahnya heran melihat anaknya yang menangis dan bertanya, “Kenapa kamu menangis ? ia kan bukan kakekmu ? bukan siapa-siapamu ?”
Spontan anaknya menjawab, “ Kenapa bukan ayah saja yang meninggal ?”
Ayahnya kaget. “ Astahfirulloh, kenapa kamu bicara seperti itu nak ?”. ujarnya dengan keheranan.
“Lebih baik ayah saja yang meninggal, ayah tidak pernah membangunkanku untuk sholat subuh. Tidak pernah mengajakku ke masjid, sedangkan kakek itu ….. setiap pagi aku berjalan dibelakangnya untuk shalat subuh di masjid”.
Ayahnya sontak terdiam, lidahnya kelu, matanya menganak sungai, selama ini ia begitu lalai, meninggalkan kewajiban sebagai hamba Allah dan lalai dalam mendidik anaknya. Ia pun akhirnya rajin mengikuti shalat jama’ah di masjid karena dakwah anaknya, terutama shalat subuh.
Dikutip dari buku “Dasyatnya Bangun Pagi” semoga bisa memetik hikmahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar