Oleh : Madhelmi
Kulihat
wajahmu, kamu gadis yang cantik. Kulihat pribadimu, kamu gadis yang lembut dan
sopan. Kulihat pola fikirmu, kamu berotak cemerlang dan kulihat gaya hidupmu,
kamu gadis yang sederhana. Sungguh serasi sekali dengan namamu, Erika Yuliana.
Huuuh … mengapa baru sekarang terlintas dibenakku bahwa kamu adalah seorang
gadis super komplit. Kini kukutuki diriku sendiri diwaktu aku melewati gedung MTs
Muhajirin.
Dua
tahun sudah kita jadi Proktor UNBK. Dua periode kelulusanpun terlewat sudah.Tak
kusangka kita akan selalu bertemu setiap ada sosialisasi.
“Git
! duduk sini sih “ pintamu disaat sosialisasi di SMPN 16. Kulihat teman akrab
yang biasa sebangku denganmu, Novri memang tidak hadir. Kamu menatapku penuh
harap. Lalu kudekati bangku yang kosong disampingmu. Kutinggalkan Thosim teman
sebangkuku. Rupanya kita ada kecocokan dalam menyiasati setiap munculnya
aplikasi pendataan. Kamu adalah seorang cewek. Tapi kamu menyukai tantangan yang
keras. Tapi mengapa juga kamu sering bertanya kepadaku, padahal
kurasa kamu lebih cepat mengerti dibanding aku dalam setiap ada sosialisasi.
“
Eh, bubar sosialisasi nanti jangan pulang dulu yah … Gua mau nanya sama kamu
ada yang nggak jelas nih !”. Ah, akhir-akhir ini kamu sudah membuatku heran.
Bukankah kamu gadis yang ulet dan cerdas. Pendataan EMIS kemarin saja kamu selesai
duluan. Sedangkan aku harus puas selesai disaat deadline.
Pulang
sosialisasi hari itu kamu sudah menungguku di pintu gerbang. Kulihat kamu
tersenyum kepadaku.
“Apa
yang nggak jelas ?” tanyaku setelah berdiri di dekatmu.
“
Apanya yang nggak jelas ?!” kupertegas pertanyaanku, karena kamu belum menjawab
apa yang kutanyakan.
“
Eh …anu, eee… anu …!”
Kulihat kamu seperti gugup. Tas
yang kau bawa hampir saja terjatuh.
“
Eee … cara ngedapetin ini dari mana sih !” tanya kamu sambil menyodorkan sebuah
coretan yang ada di tanganmu kepadaku. Tapi kamu terus saja menatapku.
“
Oh ini, begini nih ! “. Kucoba menjelaskan apa yang kamu tanyakan. Kutuntun
kamu perlahan-lahan agar mudah memahaminya. Anehnya setiap aku memberikan
pertanyaan kepadamu, kamu selalu menjawabnya dengan gugup. Lebih aneh lagi kamu
jarang memperhatikan apa yang aku tulis, tetapi malah sering memperhatikanku
jika aku sedang menulis.
Erika
… waktu kita baru kenal dulu kamu tidak seperti ini. Kamu selalu cuek kepadaku.
Kita bertegur sapa saja bisa dihitung dengan jari. Itupun kalau memang sedang
ada perlu atau sedang berpapasan jalan. Kamu yang sekarang kukenal, tidak sama
dengan kamu yang dulu. Kamu yang sekarang lebih sering gugup bila sedang
berhadapn denganku.
“Ke
kantin yuk !” ajakku disaat sosialisasi di MTn 1.
“Ngapain ? “
“Dagang !, ke kantin ya … mau makan beg …”. Kututupi
mulutku yang hampir salah ucap.Tapi kamu malah tertawa.
“yuuuk !”
Tidak kusangka , baru dua
bulan kenal denganmu aku jadi akrab denganmu. Hampir setiap saat kamu selalu menghubungiku.
Saat aku mengajar, jam itirahat, bahkan jam pulangpun kamu selalu menanyakan
kabarku. Sepertinya tiada hari-hari kamu tanpa aku. Kamu yang dahulu ku anggap
sombong kini ramah kepadaku.
“Sinkron sudah belum ? viewer dong “ tanyaku padamu
disaat akan simulasi. Kamu langsung saja menyuruhku mengirimkan kode viewer
kepadamu.
“Buruan geh !”
Segera saja aku kirimkan kode viewer yang telah aku buka.
Erika … kamu tidak saja cantik, tapi juga rajin, pintar
dan ulet. Tak pernah kulihat kamu tidak ada dalam setiap sosialisasi, tak
pernah dengart kamu terlambat pendataan.
Aduh !”. Kakiku tersandung sebuah batu. Sakit yang
kurasakan telah membuyarkan anganku sejenak. Sambil ku elus kakiku yang terasa
nyeri, aku duduk di bawah pohon di tepi jalan Soekarno Hatta No.02, Karang
Maritim. Teringat kembali olehku tiga tahun yang lalu, saat aku mensetting
server UNBK di MTs Muhajirin. Setiappagi aku melewati jalan itu. Suasananya
masih seperti dulu. Hanya di beberapa tempat saja yang berubah. Jalan becek
yang dulu sering kulalui kini sudah beraspal.
Erika … masih kuingat waktu kamu marah padaku. Kamu
lakukan aksi mogok bicara kepadaku. Mungkin kamu sedang jengkel padaku saat
itu. Karena sejak sosialisasi di MTsN 2 di mulai hingga saat pulang sekolah aku
duduk dengan Diana, proktor dari MTs Muhammadiyah. Saat itu pula aku tak pernah
menggubris segala pertanyaan dan teguranmu. Karena aku asyik bercanda dengan Diana.
Kupikir waktu kamu mogok bicara denganku saat itu karena kamu sedang ada
masalah di rumah. Kucoba untuk mengikuti segala kemauanmu dengan berusaha
menjauhimu. Sebab sejak kejadian itu, kamu sulitsekali untuk di ajak bicara.
Kamu selalu menghindari pertanyaanku jika bertemu. Alasan yang dapat kamu
berikan padaku katanya sedang tidak enak ngomong. Sehari kamu diam, hari kedua
juga diam, hari ketiga kamu masih juga diam.
Ulah kamu, ternyata sempat membuat aku jadi bingung. Ada
masalah apa antara kamu denganku. Kalau memang sedang tidak enak ngomong,
kenapa setiap ada pertemuan cuma kepadaku. Sedang dengan teman yang lain
tidak demikian. Sering kulihat kamu
bicara dengan Atikah, Novri, Nasir, Thosim, Syafrullah, Mudiarni dan yang lain.
Bahkan dengan Syahril teman akrabku. Dengan mereka kamu penuh tawa dan canda.
Tapi bila kudekati, tawa dan canda itu lenyap dari bibirmu.
“Erika…, kamu jangan bikin gua semakin bingung !” kataku
padamu di suatu ketika saat kita bertemu. Karena kamu mogok bicara denganku.
“ Bingung …? Bingung …?!” Hanya itu jawabmu dengan nada
mengejek.
Akhirnya aku instrofeksi diri. Barangkali ada suatu
kesalahan yang telah aku perbuat. Tapi sejauh mana kucari-cari tak kutemukan
juga jawabannya, yang akhirnya akupun ikut-ikutan mogok bicara denganmu.
Setelah kutunggu-tunggu hingga satu bulan, kamu tidak mau
juga diajak bicara saat ku telpon dan smskupun tak kaumu balas. Bahkan kamu
selalu menghindar dariku dengan berbagai alasan bila kudekati. Akhirnya
kutunggu kamu di Jl. Sukarno-Hatta, dekat rumahmu. Aku ingin mendapat
penjelasan. Mengapa kamu sepertinya menyimpan benci.
Kamu thu aku sedang menunggumu.Kamu percepat langkahmu menuju
ke rumah. Di sebuah kompleks Nomor 135 Panjang, kamu memasuki halaman sebuah
rumah. Sebelum kamu sempat masuk ke dalam rumah, aku segera mencekal tanganmu.
“Erika, boleh gua masuk ?!” tanyaku berharap.
“Mau apa ?!” jawabmu seperti tidak ada rasa simpatik
sedikitpun.
“Gua ada perlu” kataku dengan agak takut.
“Perlu apa ?!” sahutmu ketus.
“Masuk dulu , baru gua ngomong”
“Oke … oke …! Silahkan. Tapi ingat, nggak boleh lebih
dari sepuluh menit. Gua mau tidur !”
Kulangkahkan kakiku mememasuki rumahmu yang
mewah. Tak kusangka, ternyata kamu anak orang kaya. Baru kutahu itu saat
mengikutimu. Sungguh jauh berbeda
denganku. Aku cuma si anak kost, yang
selalu berteman ruangan sempit.
“ Sudah lama kita bersahabat. Selama itu juga kita saling membantu. Gua sadar, diantara kita punya kelebihan dan
kekurangan. Tapi dengan kelebihan dan kekurangan itu kita bisa saling mengisi,
memberi dan menerima. Gua nggak ngerti sekarang, kenapa kamu jadi berubah benci
dan penuh selidik. Kesalahan apa yang sudah gua perbuat sama kamu sampai kamu
bersikap seperti ini ?”.
kamu sepertinya enggan untuk menjawab. Mungkin kam,u
menganggapku sudah mengerti permasalahannya.
“ Git … kamu jangan belaga pilon ! “
“ Apa maksud kamu ?!” aku semakin tidak mengerti.
“ Kamu kan sudah punya teman baru, ngapain juga perlunya
sama gua !”
“ Kamu ini ngomong apa sih ?!” aku semakin tidak mengerti saja.
“ Sigit … Diana cakep ya …?”
“ Cakeeep …!”
“ Kamu suka …?”
“ Suka …”
Pertanyaan-pertanyaanmu kujawab tanpa beban.
Tiba-tiba bola matamu yang bening kulihat meneteskan air
mata. Ternyata kamu menangis. Aku jadi tidak enak, tapi justru membuatku
penasaran. Mengapa kamu menangis
“ Erika … kamu menangis ?”
“ Kamu sudah buat hati gua sakit”
“ Gua rasa enggak …”
“ Kamu buta ! kamu
munafik ! kamu nggak punya perasaan … !
“
Tangis kamu makin sesenggukan. Kamu tutupi wajahmu dengan
kedua telapak tangan. Kuberanikan diri untuk membukanya dan kutatap wajahmu.
“ Erika, katakan. Gua semakin nggak ngerti duduk
persoalannya. Gua ngerasa belum pernah nyakitin kamu. Tapi kamu bilang gua
nggak punya perasan dan segala macam tetek bengek “
“ Kamu buta, atau cuma pura-pura buta. Sampai-sampai kamu
nggak ngerti dengan sikap gua selama ini ?! “
“
Sikap apa, sikap yang mana ?” tanyaku seperti orang bodoh.
“ Ketahuilah Git, sejak gua dekat dengan kamu, apalaagi
kita ada kecocokan dalam bertukar ilmu. Ditambah dengan pribadi kamu yang nggak
sok dan suka nolongin gua kalo mengalami
kesulitan. Sedikit demi sedikit gua mulai menyukai kamu. Tapi gua ini seorang
perempuan, jadi nggak mungkin gua ngomong duluan. Gua sebel sama kamu, kenapa
nggak mau ngerti dengan sikap gua. Tega-teganya kamu nyuekin gua setelah ada Diana
! “
Kulihat wajahmu merah padam. Tapi di bawah kelopak matamu
selalu terlihat basah.
“ Oooh … itu masalahnya “ gumanku agak kaget. Aku
menduga, mungkin kamu cemburu padaku saat itu. Tapi menurutku, kamu cemburu
tanpa mempunyai alasan. Antara kamu dan aku belum ada suatu ikatan, apalagi
berpacaran. Dengan senyum kupandangi wajahmu. Tapi kamu malah menunduk.
“ Erika, gua akrab sama Diana karena gua nganggap kita proktor
satu sama lain, sama juga dengan kamu. Apalagi dia proktor baru, yang mungkin
perlu banyak bimbingan. Gua juga nggak ngersa nyuekin kamu. Itu karena kamu
saja yang perasa, sehingga kamu jadi salah duga. Gua, kamu , Diana, dan juga proktor
yang lain nggak lebih dari sebatas teman proktor. Kalau kamu menganggap sikap
timbal balik gua terhadap kamu yang selama ini dekat dengan kamu ternyata telah
kamu artikan lain, yaitu lebih dari itu. Berati kamu sudah salah besar. Apalagi
kalau kamu sampai cemburu.
Kamu menatapku berubah sinis. Sedangkan aku cuma
senyum-senyum. Hal itu sepertinya telah
membuat kamu semakin
jengkel. Lalu sambil menangis kamu berlari meninggalkan aku sendirian di ruang
tamu.
Tiga
hari sesudah aku dari rumahmu, kamu menyapaku via WA. Sepertinya sudah tidak kudengar
lagi nada benci dari suaramu. Aku jadi heran, secepat itu kamu berubah. Apakah
kamu sudah menyadari bahwa kita sesama proktor adalah untuk bertukar ilmu,
bukan untuk pacaran.
Keadaan kini justru berbalik. Sejak kamu menangis tiga
hari yang lalu, aku terus merenung.sampai pada akhirnya aku menyadari bahwa
akupun menyukaimu.
Kenyataan membuktikan, bayanganmu selalu hadir mengikuti
hari-hariku. Sikap kamu yang telah berubah seperti semula, sudah menunjukkan
bahwa kamu telah memberikan suatu harapan kepadaku. Kulalui hari-hariku dengan
ceria. Karena setiap saat kamu hadir dalam khayalku.
Kamupun tidak menunjukkan ekspresi yang lain. Kamu tetap
seperti dulu, sama seperti kita belum pernah marahan.
“ Git, besok ke laut yuk !” pesan WA-mu dihari sabtu saat
aku hendak pulang dari sekolah.
“ Ajak Diana ya …” lanjutmu.
“ Kenapa mesti ngajak Diana, ini kan acara kita “
“ Kalau nggak mau, ya … terserah. Gua tunggu di Pasir
Putih jam Sembilan pagi, Oke !”
Rasanya hatiku berbunga-bunga. Sebersit ceria muncul di
hatiku. Siapa tidak suka kalau cintanya terbalas.
Tepat saat yang dijanjikan aku sudah berada di pintu
masuk Pasir Putih. Panas yang menyengat tubuh seolah tak kurasakan.
Kulangkahkan kakiku menuju penjaga.kulihat kamu sudah
menunggu di loket.
“ Hai … sudah lama ?” sapaku padamu. Senyummu yang
kulihat tampak begitu indah.
Ketika aku hendak membayar tiket masuk, kamu menarik
lenganku.
“ Sudah, duduk saja dulu di sini “ katamu dengan senyum.
Baru saja aku duduk, dari samping kiriku mendekat seorang
pria sambil menyodorkan tiga buah tiket.
“ Nih …!”
Aku tidak mengerti, siapa
dia. Belum sempat aku bertanya, ia menyapaku.
“ Ooo … kamu yang namanya Sigit ya, yang Erika certain ?”
“Oh iya Git, kenalin ini Sutris !”
“ Temen, atau … atau …”
“ Terserah kamu deh mau bilang apa. Temen boleh, pacar
juga boleh “
Penjelasan
kamu membuat keringat dinginku keluar deras. Mataku serasa berkunang-kunang,
dan bumi yang kupijak serasa berhenti berputar. Ternyata kamu sudah membawa
seorang teman. Pantas saja kamu menyuruhku mengajak Diana.
Angin sepoi-sepoi di tepi lautpun aku tak tahu lagi
rasanya. Fikiranku kacau balau. Di sampingku kamu asyik bercumbu dengan si Sutris
brengsek. Rupanya kamu bermaksud membalaskan sakit hatimu di saat aku mulai
mengerti akan artinya cinta.
Karena perasaan kesal, cemburu, sakit dan jengkel, kubuat
alasan hendak ke toilet . tapi sebenarnya aku muak. Dengan gontai aku melangkah
pulang.
Erika … tak kusangka, rupanya dibalik semua kewajaranmu
ternyata kamu menyiapkan dendam. Tapi mengapa harus dengan cara seperti ini,
sehingga membuat aku harus kehilangan muka.
Untuk menutupi rasa kecewa di dada, akhirnya kucoba mencari
pelarian dengan mendekati Diana. Tapi dibelakang hari kuketahui bahwa Diana
sudah bertunangan dengan seorang calon Sarjana Teknik.Semakin ciut nyaliku
untuk mendekatinya. Kamupun selalu tersenyum mengejek bila bertemu denganku.
Mungkin dalam hatimu berkata, “ Syukurin Luh !, orang yang sok nggak kenal
cinta “
Karena tidak tahan malu, kuputuskan untuk resign dari
proktor. Dalam hati aku bertanya, salah siapa … ?
Kraaaks … !!
Terdengar ranting patah dari atas pohon. Belum sempat aku
menghindar, sudah mengenai batok kepalaku hingga berdarah.
“ Cocok ! “ gumanku dalam hati. Salah sendiri … melamun
kok di bawah pohon.
*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar