Sabtu, 25 April 2020

Salah Sendiri ….


Oleh   :  Madhelmi


       Kulihat wajahmu, kamu gadis yang cantik. Kulihat pribadimu, kamu gadis yang lembut dan sopan. Kulihat pola fikirmu, kamu berotak cemerlang dan kulihat gaya hidupmu, kamu gadis yang sederhana. Sungguh serasi sekali dengan namamu, Erika Yuliana. Huuuh … mengapa baru sekarang terlintas dibenakku bahwa kamu adalah seorang gadis super komplit. Kini kukutuki diriku sendiri diwaktu aku melewati gedung MTs Muhajirin.
      Dua tahun sudah kita jadi Proktor UNBK. Dua periode kelulusanpun terlewat sudah.Tak kusangka kita akan selalu bertemu setiap ada sosialisasi.
           “Git ! duduk sini sih “ pintamu disaat sosialisasi di SMPN 16. Kulihat teman akrab yang biasa sebangku denganmu, Novri memang tidak hadir. Kamu menatapku penuh harap. Lalu kudekati bangku yang kosong disampingmu. Kutinggalkan Thosim teman sebangkuku. Rupanya kita ada kecocokan dalam menyiasati setiap munculnya aplikasi pendataan. Kamu adalah seorang cewek. Tapi kamu menyukai tantangan yang keras. Tapi mengapa juga kamu sering bertanya kepadaku, padahal kurasa kamu lebih cepat mengerti dibanding aku dalam setiap ada sosialisasi.
        “ Eh, bubar sosialisasi nanti jangan pulang dulu yah … Gua mau nanya sama kamu ada yang nggak jelas nih !”. Ah, akhir-akhir ini kamu sudah membuatku heran. Bukankah kamu gadis yang ulet dan cerdas. Pendataan EMIS kemarin saja kamu selesai duluan. Sedangkan aku harus puas selesai disaat deadline.
          Pulang sosialisasi hari itu kamu sudah menungguku di pintu gerbang. Kulihat kamu tersenyum kepadaku.
            “Apa yang nggak jelas ?” tanyaku setelah berdiri di dekatmu.
            “ Apanya yang nggak jelas ?!” kupertegas pertanyaanku, karena kamu belum menjawab apa yang kutanyakan.
            “ Eh …anu, eee… anu …!”
Kulihat kamu seperti gugup. Tas yang kau bawa hampir saja terjatuh.
          “ Eee … cara ngedapetin ini dari mana sih !” tanya kamu sambil menyodorkan sebuah coretan yang ada di tanganmu kepadaku. Tapi kamu terus saja menatapku.
        “ Oh ini, begini nih ! “. Kucoba menjelaskan apa yang kamu tanyakan. Kutuntun kamu perlahan-lahan agar mudah memahaminya. Anehnya setiap aku memberikan pertanyaan kepadamu, kamu selalu menjawabnya dengan gugup. Lebih aneh lagi kamu jarang memperhatikan apa yang aku tulis, tetapi malah sering memperhatikanku jika aku sedang menulis.
        Erika … waktu kita baru kenal dulu kamu tidak seperti ini. Kamu selalu cuek kepadaku. Kita bertegur sapa saja bisa dihitung dengan jari. Itupun kalau memang sedang ada perlu atau sedang berpapasan jalan. Kamu yang sekarang kukenal, tidak sama dengan kamu yang dulu. Kamu yang sekarang lebih sering gugup bila sedang berhadapn denganku.
         “Ke kantin yuk !” ajakku disaat sosialisasi di MTn 1.
          “Ngapain ? “
          “Dagang !, ke kantin ya … mau makan beg …”. Kututupi mulutku yang hampir salah ucap.Tapi kamu malah tertawa.
           “yuuuk !”
Tidak kusangka , baru dua bulan kenal denganmu aku jadi akrab denganmu. Hampir setiap saat kamu selalu menghubungiku. Saat aku mengajar, jam itirahat, bahkan jam pulangpun kamu selalu menanyakan kabarku. Sepertinya tiada hari-hari kamu tanpa aku. Kamu yang dahulu ku anggap sombong kini ramah kepadaku.
       “Sinkron sudah belum ? viewer dong “ tanyaku padamu disaat akan simulasi. Kamu langsung saja menyuruhku mengirimkan kode viewer kepadamu.
         “Buruan geh !”
          Segera saja aku kirimkan kode viewer yang telah aku buka.
         Erika … kamu tidak saja cantik, tapi juga rajin, pintar dan ulet. Tak pernah kulihat kamu tidak ada dalam setiap sosialisasi, tak pernah dengart kamu terlambat pendataan.
            Aduh !”. Kakiku tersandung sebuah batu. Sakit yang kurasakan telah membuyarkan anganku sejenak. Sambil ku elus kakiku yang terasa nyeri, aku duduk di bawah pohon di tepi jalan Soekarno Hatta No.02, Karang Maritim. Teringat kembali olehku tiga tahun yang lalu, saat aku mensetting server UNBK di MTs Muhajirin. Setiappagi aku melewati jalan itu. Suasananya masih seperti dulu. Hanya di beberapa tempat saja yang berubah. Jalan becek yang dulu sering kulalui kini sudah beraspal.
       Erika … masih kuingat waktu kamu marah padaku. Kamu lakukan aksi mogok bicara kepadaku. Mungkin kamu sedang jengkel padaku saat itu. Karena sejak sosialisasi di MTsN 2 di mulai hingga saat pulang sekolah aku duduk dengan Diana, proktor dari MTs Muhammadiyah. Saat itu pula aku tak pernah menggubris segala pertanyaan dan teguranmu. Karena aku asyik bercanda dengan Diana.
       Kupikir waktu kamu mogok bicara  denganku saat itu karena kamu sedang ada masalah di rumah. Kucoba untuk mengikuti segala kemauanmu dengan berusaha menjauhimu. Sebab sejak kejadian itu, kamu sulitsekali untuk di ajak bicara. Kamu selalu menghindari pertanyaanku jika bertemu. Alasan yang dapat kamu berikan padaku katanya sedang tidak enak ngomong. Sehari kamu diam, hari kedua juga diam, hari ketiga kamu masih juga diam.
     Ulah kamu, ternyata sempat membuat aku jadi bingung. Ada masalah apa antara kamu denganku. Kalau memang sedang tidak enak ngomong, kenapa setiap ada pertemuan cuma kepadaku. Sedang dengan teman yang lain tidak  demikian. Sering kulihat kamu bicara dengan Atikah, Novri, Nasir, Thosim, Syafrullah, Mudiarni dan yang lain. Bahkan dengan Syahril teman akrabku. Dengan mereka kamu penuh tawa dan canda. Tapi bila kudekati, tawa dan canda itu lenyap dari bibirmu.
        “Erika…, kamu jangan bikin gua semakin bingung !” kataku padamu di suatu ketika saat kita bertemu. Karena kamu mogok bicara denganku.
          “ Bingung …? Bingung …?!” Hanya itu jawabmu dengan nada mengejek.
       Akhirnya aku instrofeksi diri. Barangkali ada suatu kesalahan yang telah aku perbuat. Tapi sejauh mana kucari-cari tak kutemukan juga jawabannya, yang akhirnya akupun ikut-ikutan mogok bicara denganmu.
           Setelah kutunggu-tunggu hingga satu bulan, kamu tidak mau juga diajak bicara saat ku telpon dan smskupun tak kaumu balas. Bahkan kamu selalu menghindar dariku dengan berbagai alasan bila kudekati. Akhirnya kutunggu kamu di Jl. Sukarno-Hatta, dekat rumahmu. Aku ingin mendapat penjelasan. Mengapa kamu sepertinya menyimpan benci.
           Kamu thu aku sedang menunggumu.Kamu percepat langkahmu menuju ke rumah. Di sebuah kompleks Nomor 135 Panjang, kamu memasuki halaman sebuah rumah. Sebelum kamu sempat masuk ke dalam rumah, aku segera mencekal tanganmu.
            “Erika, boleh gua masuk ?!” tanyaku berharap.
            “Mau apa ?!” jawabmu seperti tidak ada rasa simpatik sedikitpun.
            “Gua ada perlu” kataku dengan agak takut.
            “Perlu apa ?!” sahutmu ketus.
            “Masuk dulu , baru gua ngomong”
            “Oke … oke …! Silahkan. Tapi ingat, nggak boleh lebih dari sepuluh menit. Gua mau tidur !”
             Kulangkahkan kakiku mememasuki rumahmu yang mewah. Tak kusangka, ternyata kamu anak orang kaya. Baru kutahu itu saat mengikutimu.  Sungguh jauh berbeda denganku.  Aku cuma si anak kost, yang selalu berteman ruangan sempit.
          “ Sudah lama kita bersahabat.  Selama itu juga kita saling membantu.  Gua sadar, diantara kita punya kelebihan dan kekurangan. Tapi dengan kelebihan dan kekurangan itu kita bisa saling mengisi, memberi dan menerima. Gua nggak ngerti sekarang, kenapa kamu jadi berubah benci dan penuh selidik. Kesalahan apa yang sudah gua perbuat sama kamu sampai kamu bersikap seperti ini ?”.
        kamu sepertinya enggan untuk menjawab. Mungkin kam,u menganggapku sudah mengerti permasalahannya.
            “ Git … kamu jangan belaga pilon  ! “
            “ Apa maksud kamu ?!” aku semakin tidak mengerti.
            “ Kamu kan sudah punya teman baru, ngapain juga perlunya sama gua !”
            “ Kamu ini ngomong apa sih  ?!” aku semakin tidak mengerti saja.
            “ Sigit … Diana cakep ya …?”
            “ Cakeeep …!”
            “ Kamu suka …?”
            “ Suka …”
            Pertanyaan-pertanyaanmu kujawab tanpa beban.
            Tiba-tiba bola matamu yang bening kulihat meneteskan air mata. Ternyata kamu menangis. Aku jadi tidak enak, tapi justru membuatku penasaran. Mengapa kamu menangis
            “ Erika … kamu menangis ?”
            “ Kamu sudah buat hati gua sakit”
            “ Gua rasa enggak …”
            “ Kamu buta !  kamu munafik !  kamu nggak punya perasaan … ! “
            Tangis kamu makin sesenggukan. Kamu tutupi wajahmu dengan kedua telapak tangan. Kuberanikan diri untuk membukanya dan kutatap wajahmu.
            “ Erika, katakan. Gua semakin nggak ngerti duduk persoalannya. Gua ngerasa belum pernah nyakitin kamu. Tapi kamu bilang gua nggak punya perasan dan segala macam tetek bengek “
            “ Kamu buta, atau cuma pura-pura buta. Sampai-sampai kamu nggak ngerti dengan sikap gua selama ini ?! “
            “ Sikap apa, sikap yang mana ?” tanyaku seperti orang bodoh.
            “ Ketahuilah Git, sejak gua dekat dengan kamu, apalaagi kita ada kecocokan dalam bertukar ilmu. Ditambah dengan pribadi kamu yang nggak sok dan suka nolongin gua  kalo mengalami kesulitan. Sedikit demi sedikit gua mulai menyukai kamu. Tapi gua ini seorang perempuan, jadi nggak mungkin gua ngomong duluan. Gua sebel sama kamu, kenapa nggak mau ngerti dengan sikap gua. Tega-teganya kamu nyuekin gua setelah ada Diana ! “
            Kulihat wajahmu merah padam. Tapi di bawah kelopak matamu selalu terlihat basah.
        “ Oooh … itu masalahnya “ gumanku agak kaget. Aku menduga, mungkin kamu cemburu padaku saat itu. Tapi menurutku, kamu cemburu tanpa mempunyai alasan. Antara kamu dan aku belum ada suatu ikatan, apalagi berpacaran. Dengan senyum kupandangi wajahmu. Tapi kamu malah menunduk.
           “ Erika, gua akrab sama Diana karena gua nganggap kita proktor satu sama lain, sama juga dengan kamu. Apalagi dia proktor baru, yang mungkin perlu banyak bimbingan. Gua juga nggak ngersa nyuekin kamu. Itu karena kamu saja yang perasa, sehingga kamu jadi salah duga. Gua, kamu , Diana, dan juga proktor yang lain nggak lebih dari sebatas teman proktor. Kalau kamu menganggap sikap timbal balik gua terhadap kamu yang selama ini dekat dengan kamu ternyata telah kamu artikan lain, yaitu lebih dari itu. Berati kamu sudah salah besar. Apalagi kalau kamu sampai cemburu.
            Kamu menatapku berubah sinis. Sedangkan aku cuma senyum-senyum. Hal itu sepertinya telah
membuat kamu semakin jengkel. Lalu sambil menangis kamu berlari meninggalkan aku sendirian di ruang tamu.  
         Tiga hari sesudah aku dari rumahmu, kamu menyapaku via WA. Sepertinya sudah tidak kudengar lagi nada benci dari suaramu. Aku jadi heran, secepat itu kamu berubah. Apakah kamu sudah menyadari bahwa kita sesama proktor adalah untuk bertukar ilmu, bukan untuk pacaran.
      Keadaan kini justru berbalik. Sejak kamu menangis tiga hari yang lalu, aku terus merenung.sampai pada akhirnya aku menyadari bahwa akupun menyukaimu.
            Kenyataan membuktikan, bayanganmu selalu hadir mengikuti hari-hariku. Sikap kamu yang telah berubah seperti semula, sudah menunjukkan bahwa kamu telah memberikan suatu harapan kepadaku. Kulalui hari-hariku dengan ceria. Karena setiap saat kamu hadir dalam khayalku.
            Kamupun tidak menunjukkan ekspresi yang lain. Kamu tetap seperti dulu, sama seperti kita belum pernah marahan.
            “ Git, besok ke laut yuk !” pesan WA-mu dihari sabtu saat aku hendak pulang dari sekolah.
            “ Ajak Diana ya …” lanjutmu.
            “ Kenapa mesti ngajak Diana, ini kan acara kita “
            “ Kalau nggak mau, ya … terserah. Gua tunggu di Pasir Putih jam Sembilan pagi, Oke !”
            Rasanya hatiku berbunga-bunga. Sebersit ceria muncul di hatiku. Siapa tidak suka kalau cintanya terbalas.
            Tepat saat yang dijanjikan aku sudah berada di pintu masuk Pasir Putih. Panas yang menyengat tubuh seolah tak kurasakan.
            Kulangkahkan kakiku menuju penjaga.kulihat kamu sudah menunggu di loket.
            “ Hai … sudah lama ?” sapaku padamu. Senyummu yang kulihat tampak begitu indah.
            Ketika aku hendak membayar tiket masuk, kamu menarik lenganku.
            “ Sudah, duduk saja dulu di sini “ katamu dengan senyum.
            Baru saja aku duduk, dari samping kiriku mendekat seorang pria sambil menyodorkan tiga buah tiket.
            “ Nih …!”
Aku tidak mengerti, siapa dia. Belum sempat aku bertanya, ia menyapaku.
            “ Ooo … kamu yang namanya Sigit ya, yang Erika certain ?”
            “Oh iya Git, kenalin ini Sutris !”
            “ Temen, atau … atau …”
            “ Terserah kamu deh mau bilang apa. Temen boleh, pacar juga boleh “
            Penjelasan kamu membuat keringat dinginku keluar deras. Mataku serasa berkunang-kunang, dan bumi yang kupijak serasa berhenti berputar. Ternyata kamu sudah membawa seorang teman. Pantas saja kamu menyuruhku mengajak Diana.
       Angin sepoi-sepoi di tepi lautpun aku tak tahu lagi rasanya. Fikiranku kacau balau. Di sampingku kamu asyik bercumbu dengan si Sutris brengsek. Rupanya kamu bermaksud membalaskan sakit hatimu di saat aku mulai mengerti akan artinya cinta.
          Karena perasaan kesal, cemburu, sakit dan jengkel, kubuat alasan hendak ke toilet . tapi sebenarnya aku muak. Dengan gontai aku melangkah pulang.          
        Erika … tak kusangka, rupanya dibalik semua kewajaranmu ternyata kamu menyiapkan dendam. Tapi mengapa harus dengan cara seperti ini, sehingga membuat aku harus kehilangan muka.
            Untuk menutupi rasa kecewa di dada, akhirnya kucoba mencari pelarian dengan mendekati Diana. Tapi dibelakang hari kuketahui bahwa Diana sudah bertunangan dengan seorang calon Sarjana Teknik.Semakin ciut nyaliku untuk mendekatinya. Kamupun selalu tersenyum mengejek bila bertemu denganku. Mungkin dalam hatimu berkata, “ Syukurin Luh !, orang yang sok nggak kenal cinta “
         Karena tidak tahan malu, kuputuskan untuk resign dari proktor. Dalam hati aku bertanya, salah siapa … ?
            Kraaaks … !!
       Terdengar ranting patah dari atas pohon. Belum sempat aku menghindar, sudah mengenai batok kepalaku hingga berdarah.
            “ Cocok ! “ gumanku dalam hati. Salah sendiri … melamun kok di bawah pohon.

*******




Tidak ada komentar:

Posting Komentar